RSS
Have you heard the quote, 'don't take life too seriously, noone get out of it anyway? Well, movies are, in fact, imitations of life.

SARSGAARD AND SCHREIBER THE GRAY


"Black and white is how it should be, but shades of gray is all I see..." - Billy Joel.

Tentunya, banyak penonton yang merasakan bahwa karakter-karakter dalam film zaman sekarang mengalami perkembangan yang sangat pesat. Jika dulu, penonton cukup puas dengan karakter protagonis yang berusaha mengalahkan si antagonis, maka sekarang sepertinya tidak lengkap jika sebuah film tidak memiliki karakter abu-abu. Coba cek saja daftar film favorit Anda. Pasti cerita akan semakin berwarna dengan keberadaan karakter abu-abu. Karakter Severus Snape di seri Harry Potter, Boromir di trilogi Lord of the Rings, dan Nick Fury di dua film Iron Man menjelaskan semuanya, bukan?

Nah, kalau saya perhatikan, belakangan ini ada dua aktor yang sangat sering dipergunakan untuk berperan sebagai karakter abu-abu. Kebetulan, keduanya bukan aktor kelas A. Meski demikian, karakter mereka selalu karismatik dan dibawakan secara meyakinkan oleh kedua pria yang hampir sebaya ini:

1. Peter Sarsgaard
Yang paling diingat orang mungkin perannya sebagai polisi jahat di Flightplan (2005). Penonton dibuat bertanya-tanya, jahatkah orang ini sebenarnya? Apakah niatnya untuk membantu karakter Jodie Foster di situ tulus atau ada motif lain? Setelah itu, aktor kelahiran Illinois ini bermain dalam drama perang Jarhead (2005). Meski di film tersebut dia hanya sebagai pendukung Jake Gyllenhall, tapi karakternya benar-benar membangun keseluruhan konflik film dengan personality-nya yang cenderung emosional.

Sebelumnya, di film horor The Skeleton Key (2004), dia memainkan karakter penuh rahasia yang menghantui Kate Hudson. Peran yang mirip dilakoninya pula untuk Orphan (2009), sebuah thriller psikologis dimana dia berperan sebagai suami yang selalu mengkonfrontasi karakter utama Vera Farmiga, yang berperan sebagai istrinya. Terakhir, Sarsgaard menjadi agen CIA korup yang mengejar-ngejar Tom Cruise di Knight and Day (2010).

2. Liev Schreiber
Saya sudah memperhatikan aktor ini sejak bermain di trilogi Scream (1996, 1997 dan 2000) sebagai Cotton Leary, karakter yang dituduh membunuh ibu Neve Campbell padahal sebenarnya bukan pembunuh. Dari situ, Schreiber sempat menghilang sampai akhirnya muncul lagi di remake The Manchurian Candidate (2004).

Pria ini akhirnya mengukuhkan diri sebagai spesialis peran abu-abu setelah muncul sebagai Sabretooth, rival Wolverine dalam X-Men Origins: Wolverine (2009). Setelah itu dia muncul dalam Salt (2010) sebagai teman-jadi-lawan Angelina Jolie. Oh ya, jangan lupa peran memorable-nya di Defiance (2008) yang selalu menentang Daniel Craig sebelum akhirnya bahu-membahu di medan perang.

Karakter abu-abu memang membuat kita sebagai penonton memiliki sudut pandang baru terhadap perkembangan penokohan suatu karakter dalam film. Ingat, sebuah karakter abu-abu bisa berpura-pura menjadi antagonis di awal, tetapi ternyata menjadi protagonis seiring berkembangnya cerita. Begitu pula sebaiknya, di awal bisa jadi dia baik, tapi menjadi jahat di ending film.

Sarsgaard dan Schreiber telah membuktikan kelas masing-masing dengan cara membawakan karakter-karakter 'menantang' seperti itu dalam film-film mereka. Makanya, kita harus memberi apresiasi lebih terhadap kedua aktor 'abu-abu' ini.

<_mp_>

INDIE CONCEPT OF LOVE


This time I wanna talk about 'love'... yeah, baby, that kind of 'love'...

Dunia film juga tidak ada habis-habisnya mengeksploitasi cinta sebagai tema utama film-film romantis. Terkadang, cerita yang paling membuat kita mengernyitkan kening sekalipun, apabila berhasil menjual mimpi tentang kemenangan cinta, maka film itu akan disukai penonton. Take Pretty Woman, While You Were Sleeping, or (sadly, my favorite) Notting Hill, for example...

Saya ingin mengajak Anda sekalian berdiskusi atau setidaknya memusatkan perhatian kepada dua nama sutradara sekaligus scriptwriter yang saya yakini sebagai dua orang paling 'jujur' dan blak-blakan bicara cinta.

'Jujur' di sini dalam artian tidak menjual mimpi terlalu tinggi dan menggambarkan 'cinta' seperti apa adanya dalam kenyataan: memabukkan, menjeratmu pelan-pelan, tapi setelah itu meninggalkanmu dalam sebuah pilihan yang harus kau tentukan sendiri: happy ending atau gloomy ending...

1. Richard Linklater


Sutradara ini sangat dihormati di dunia indie cinema. Mungkin, karya mainstream-nya yang paling dikenal orang hanyalah School of Rock dan Bad News Bears. Namun siapa yang nggak kenal dwilogi Before Sunrise dan Before Sunset-nya yang touching abis itu.

Dalam kedua judul tersebut, Linklater menampilkan situasi se-real mungkin dalam hubungan sepasang manusia yang saling jatuh cinta. Di film pertama, karakter Jesse dan Celine yang sama-sama masih muda, idealis dan naif dalam memandang dunia, menemukan sosok idaman dalam diri masing-masing. Bertemu di sebuah kereta, menghabiskan semalam di Vienna, dan saling berjanji untuk bertemu kembali setahun kemudian di penghujung film. Semua pecinta film romantis akan jatuh cinta pada film sederhana yang kuat dalam hal dialog tersebut.


Before Sunrise dirilis pada tahun 1995. Siapa yang menyangka, Linklater membuat sambungannya 9 tahun kemudian yang bertajuk Before Sunset, dengan konsep real-life. Di film kedua ini, kedua karakter telah terjebak dalam ke-gloomy-an usia pertengahan 30 tahunan. Jesse sudah menikah dan memiliki anak, sedangkan Celine menjadi seorang wanita single yang pandangan free thinking-nya lebih cenderung ke arah apatis. Jangan salah, film ini sama sekali tidak membahas betapa dahsyatnya kerinduan mereka yang mendayu-dayu selama 9 tahun tidak saling bertemu. Justru dialog-dialog panjang yang menghiasi film ini lebih menekankan pada betapa bitter-nya kehidupan mereka masing-masing. Dan yang paling penting, apakah mereka memang segitu infatuated-nya terhadap satu sama lain, sehingga tidak menyisakan ruang lain di dalam hati mereka untuk keberadaan sebuah 'cinta' baru? Intinya, infatuation yang mereka rasakan satu sama lain tak ubahnya sebuah penderitaan berkepanjangan dong? Jika sudah begini, tidak ada salahnya mereka berpikiran, "I wish I never met you."

"Memory is a wonderful thing if you don't have to deal with the past," begitu kata Celine di pertengahan film Before Sunset. Sebuah quote yang teramat sangat 'nonjok' dari seorang scriptwriter indie bernama Richard Linklater.

to be continued...

<_mp_>

THE MIRROR


Mirror mirror on the wall, who’s the fairiest of them all?

Mirror atau cermin, selama ini dikenal sebagai alat yang merefleksikan salah satu sifat dasar manusia, yaitu narsisme. Di dalam film pun, selalu seperti itu sehingga kutipan di atas tentunya tidak asing lagi. Kutipan tersebut diambil dari cerita anak-anak klasik, Snow White, dimana si ratu jahat sebenarnya hanya mengajukan pertanyaan retoris kepada cerminnya. Maksud sebenarnya hanya ingin mendengar penekanan bahwa dirinyalah yang paling cantik, tapi si cermin malah mengatakan, ada seseorang lagi yang lebih jelita dari sang ratu, yaitu Snow White.

Di film-film modern, cermin tetap menjadi simbol penekanan karakter yang nariis, yaitu karakter yang mencintai dirinya sendiri. Selalu pasti ada adegan dimana seorang tokoh berbicara dengan diri sendiri di depan cermin. Dari perspektif orang pertama, sangat tidak mungkinlah seseorang memandangi dirinya sendiri sebagai lawan bicara. Maka di sinilah peranan cermin, yaitu untuk menyediakan penampakan langsung dari si karakter.

Toh, seperti Christina Aguilera menyanyikannya dalam lagu “Reflection”
"Who is the girl I see staring straight back at me? When will my reflection shows who I am inside?"

Nah, berikut ini dua adegan bericara dengan cermin terbaik yang pernah saya lihat:

1. Robert de Niro dalam Taxi DriverKarakter Travis Bickle yang diperankannya menodong bayangannya di cermin sambil menghardik, "you talkin' to me?"

2. Aaron Johnson dalam Kick Ass



hampir sama dengan De Niro, si superhero dadakan ini menghardik bayangannya sendiri di cermin sambil mengacungkan double stick-nya.


Namun, selain karakter-karakter yang merasa dirinya hebat, sehingga selalu ingin melihat pantulan hebat-nya di dalam cermin, ternyata ada juga adegan yang sama sekali berbeda. Karakter Edward Norton dalam the 25th Hour justru mengguakan cermin untuk memaki dirinya sendiri. Ia merasa dirinya sudah tidak berguna lagi hidup di dunia ini. Dalam monolognya, yang semakin lama semain melebar, dia mengungkapkan kebenciannya kepada semua hal yang dianggapnya membuat dunia ini menjadi ‘busuk’.



setelah memaki 'seluruh dunia', karakter Monty Brogan akhirnya memuntahkan makian pamungkas untuk dirinya sendiri, "No. No, fuck you, Montgomery Brogan. You had it all, and you threw it away, you *dumb* *fuck*!"

So, now it's up to you. When you look at the mirror, which side of yourself that you want to see?

<_mp_>


FAST AND FURIOUS: FASTER BUT LESS FURIOUS


Tulisan ini sebenarnya sudah saya buat setelah menonton Fast and Furious pada bulan April 2009 lalu. Namun baru sempat di-posting sekarang.

Vin Diesel mengulangi peran yang mengangkat namanya sebagai Dominic Toretto, si pembalap raja jalanan sekaligus perompak jalanan nomor satu. Paul Walker juga kembali sebagai polisi undercover Brian O’Conner. Agak disayangkan, sutradara spesialis pembuat non-stop action, Rob Cohen, tidak kembali untuk menangani film trademark-nya ini (mungkin) akibat kelelahan menangani The Mummy 3 : Tomb of the Dragon Emperor. Namun penggantinya, Justin Lin, nampaknya tidak mengalami kesulitan dalam mengejawantahkan naskah film ini ke layar lebar, mengingat Lin sudah dipercaya produser Neal H. Moritz dalam menangani Tokyo Drift.

Saya lagi-lagi tidak akan mengulas jalan cerita ataupun repot-repot membahas resensi film ini. Namun dengan senang hati saya ingin berbagi momen-momen paling berkesan dari sekitar 100 menit film ini berjalan. Well, I’m not much of an adrenaline lover like all the racers or race buffs are, tapi akan sangat berdosalah jika tidak mengakui bahwa saya sangat menikmati adegan-adegan balap spektakuler di installment keempat Fast and Furious ini. Yap, film ini wajib ditonton para penggemar balap dan film action berkualitas. High-speed race, car crashes, adegan tembak-tembakan dan perkelahian tangan kosong plus cewek-cewek hot, what else can u ask for?


Kemudian yang paling membuat saya kaget adalah, dari semua installment Fast and Furious, belum pernah ada satu seri pun yang menawarkan dialog bermutu dan kontemplatif. Namun di seri keempat ini, saya benar-benar dibuat terhenyak dan mendalami salah satu pembicaraan antara O Conner (Walker) dan Mia Toretto ( Jordana Brewster).

Di adegan itu, Mia melontarkan sebuah pertanyaan yang sangat ‘dalem’ kepada sang polisi spesialis undercover yang dianggapnya manipulatif dan tidak punya jatidiri tersebut, “Are you actually a cop disguised as a bad guy, or are you a bad guy disguised as a cop?” Pertanyaan itu terasa menohok dengan telak, baik bagi karakter O Conner maupun penonton. Terlebih lagi ketika O Conner hanya bisa terdiam lama sebelum menjawab, “I don’t know…”

Yap, isu mengenai personal identity yang bersinggungan dengan moralitas dalam tatanan masyarakat seperti ini nampaknya tidak pernah habis untuk dibahas. Saya akan lebih sering lagi membahas tentang ini, since there’s so much of personal identity issue being raised in movies. Kesimpulannya, saya berani berbicara bahwa Fast and Furious ternyata tidak lagi ringan dan garing ibaratnya makanan snack, yang terasa nikmat namun kosong dan tidak ada kandungan gizinya. Film keempat ini ternyata telah ditambahi oleh kandungan gizi yang meskipun tidak padat, namun memberi suplai pemikiran dan inspirasi yang cukup kepada para penonton untuk dicerna.

<_mp_>

SHOOT THE RIGHT MOMENT


Author : Haris Setiawan Tan (DAAI TV)

Belajar dari beberapa hal dari hari ke hari dalam kehidupan ini terkadang harus berbenturan segala macam didikan yang dibuat oleh para ahli teori. Dulu ketika saya belajar tentang Camera Person, banyak sekali kami diberi teori dalam mengambil gambar. Beberapa di antaranya :
1. Hindari pan right-left
2. Hindari tilt up-down
3. Cut to Cut
Tetapi justru yang terjadi dalam praktek dunia kerja di bidang entertainment adalah kebalikannya. Karena aturan-aturan tersebut saya banyak melakukan kesalahan dalam pembuatan dokumentasi video yang hasilnya tidak dapat diedit.

Jadi setelah kita terjun ke dunia kerja yang lebih baik untuk saya lakukan sebagai seorang camera person adalah melupakan segala aturan pengambilan gambar, kecuali bagi Anda yang bekerja jadi reporter. Yang terpenting adalah “Shoot The Right Moment”.

(zettia_one)

*Haris Setiawan Tan adalah teman sekelas saya di Sekolah Film STUFVI. Sekarang dia bekerja sebagai Camera Person di DAAI TV, Jakarta


LOUIS LETERRIER, THE REAL TITAN


Ketika menulis ini, film terakhir yang saya tonton adalah Clash of the Titans yang dibesut oleh sutradara Perancis Louis Leterrier. Film keluaran April 2010 yang merupakan remake film berjudul sama tahun 1981. Action bertema mitologi Yunani penuh special effect yang juga dikemas dalam format 3-D ini didukung oleh Sam Worthington dan dua aktor watak kelas wahid yaitu Liam Neeson dan Ralph Fiennes.

Okay, I'm not going to comment regarding the plot, atau mungkin ngasih review yang diukur pake skala bintang. Biarlah website-website lain yang melakukan itu. Namun lewat tulisan ini, Saya ingin menyoroti figur di belakang layar film yang memuncaki box-office Amerika tersebut.

Louis Leterrier
Sutradara Prancis ini benar-benar mencapai prestasi tertingginya dengan mengarahkan a big-budget flick. Pertama kali muncul dengan spesialisasi action Eropa dan pendekatan kelas B, Leterrier mulanya mengembangkan proyek-proyek Luc Besson seperti dua seri awal Transporter dan Danny the Dog. Namun pada tahun 2008, sebuah loncatan karir menghampirinya ketika dia dikontrak untuk menangani proyek The Incredible Hulk yang dibintangi sekaligus diproduseri Edward Norton. Film inilah yang benar-benar menggolkan namanya ke langit ketujuh dan membuatnya mulai diperhitungkan oleh para produser kelas atas.


Hollywood Wireworks
Sebagai penggemar berat film action, saya mengagumi pengaruh yang dibawa John Woo ke Hollywood, yaitu memasukkan adegan laga dengan menggunakan wireworks. Seperti yang digunakan sutradara asal Hong Kong ini di Face Off dan Hard Target, para pemerannya melakukan adegan action dengan bantuan wire, yang membuat adegan laga semakin menarik. Tali tidak kelihatan yang sering dipakai untuk menerbangkan orang di film-film mandarin kini digunakan untuk membuat para pelakon adegan laga Hollywood untuk membuat adegan berantem atau terpelanting jadi lebih dramatis.

Nah, kalau saya perhatikan, Louis Leterrier juga mengadopsi baik-baik gaya John Woo. Sejak Transporter dan Danny The Dog, adegan laga selalu dilengkapi dengan teknik wireworks. Di The Incredible Hulk, kemampuannya dalam hal ini semakin terasah. Mungkin semua orang ingat adegan paling memorable si raksasa hijau Hulk bertarung dengan musuhnya sambil melayang dalam sebuah adegan slow motion.

Di Clash of the Titans, banyak sekali adegan lompatan sambil menyerang musuh yang diperagakan aktor Sam Worthington. Dengan bantuan teknik wireworks, kemudian dipoles dengan special effect mahal, Louis Leterrier pun menghantarkan sukses luar biasa bagi film yang sebenarnya mempunyai naskah ringan bagai kerupuk ini. Siapapun, terutama fans berat film action, pasti akan menyukai attacking style yang agak mirip dengan trademark-nya Brad Pitt dalam Troy itu.

Future?
Oh, it’s obvious, isn’t it? Leterrier pasti akan kebanjiran tawaran untuk mengelola lebih banyak lagi film-film big budget. Berani taruhan, sebentar lagi produser royal sekelas Jerry Bruckheimer atau Neal H. Moritz pasti akan mengontaknya, hehehe…

<_mp_>

WHY PEOPLE LOVE ADAM SANDLER AND HIS ENTOURAGES



Siapa Adam Sandler? Orang-orang pasti tau dong. Dia adalah komedian jebolan Saturday Nite Live (SNL) yang selalu tampil bloon dalam film-filmnya. Atau klo tidak, perannya pasti muncul sebagai pria super lugu yg susah marah dan dikelilingi oleh teman-temannya yg bloon. Singkatnya, Sandler selalu dikelilingi oleh para nerds, geeks, bahkan retards and idiots.

Kritikus membencinya. Nominasi Golden Raspberry Awards (aka Razzie Awards) untuk perannya di Big Daddy, Little Nicky, I Now Pronounce You Chuck and Larry dan Mr. Deeds adalah buktinya. Begitu pula dengan para koleganya, yakni Rob Schneider dan David Spade.

Kesampingkan sejenak Spade yang jarang memegang leading role dalam sebuah film. Let’s take a look at Schneider who’s been nominated for Razzie Award for his role in Deuce Bigelow : European Gigolo. Kritikus juga menjerumuskannya lagi setelah bermain supertolol dalam The Benchwarmers bersama Spade dan Jon Heder (si Napoleon dalam Napoleon Dynamite)

Tapi mengapa para fans menyukai mereka? Mengapa pula penonton awam selalu setia menunggu film-film Adam Sandler dan rumah produksi Happy Madison-nya sehingga membuat studio-studio besar Hollywood merilis minimal 1 buah filmnya tiap tahun? Lihat saja setelah Fifty First Dates pada 2004, berturut-turut datang The Longest Yard di tahun 2005, Click (2006), I Now Pronounce You Chuck and Larry (2007), You Don't Mess with the Zohan (2008) dan Funny People (2009). Mengapa pula Buena Vista tetap merilis jilid ke 2 Deuce Bigalow meskipun versi pertama film Rob Schneider itu dicerca kritikus?

Bayangan mengenai jawabannya saya dapatkan setelah menonton The Benchwarmers. Ceritanya, karakter Schneider dan kawan-kawan membuat tim dari para nerds and the left-behinds untuk memenangkan kejuaraan baseball. Nah inilah yg selama ini diperjuangkan oleh Schneider, Sandler, dan para geng-nya dalam setiap film mereka. Mereka ingin mengangkat derajat para geeks sehingga secara otomatis mereka menjadi representasi kita dalam film.

Schneider telah melakukannya dalam The Benchwarmers. Sandler telah membuktikan kemampuannya untuk menjadi pria yang sangat bertanggung jawab dari seorang total loser dalam Big Daddy dan Bedtime Stories. Tahun 2010, Adam Sandler sedang menyiapkan film nerds-all-star bersama Schneider, Spade dan Kevin James berjudul The Grown-Ups.

That’s why they become our friends. Yeah, para kritikus selalu membenci akting mereka, but we'll keep waiting for their movies every year...

THEN LAUGH OUT LOUD

<_mp_>

THE EMPTY BACKPACK


'How much does your life weigh? Imagine for a second that you're carrying a backpack. I want you to pack it with all the stuff that you have in your life... you start with the little things. The shelves, the drawers, the knickknacks, then you start adding larger stuff. Clothes, tabletop appliances, lamps, your TV... The backpack should be getting pretty heavy now. You go bigger. Your couch, your car, your home... I want you to stuff it all into that backpack. Now I want you to fill it with people. Start with casual acquaintances, friends of friends, folks around the office... and then you move into the people you trust with your most intimate secrets. Your brothers, your sisters, your children, your parents and finally your husband, your wife, your boyfriend, your girlfriend. You get them into that backpack, feel the weight of that bag. Make no mistake your relationships are the heaviest components in your life. All those negotiations and arguments and secrets, the compromises. The slower we move the faster we die. Make no mistake, moving is living...'

Beberapa malam yang lalu, sewaktu sedang hangout bareng teman-teman saya, kami mendiskusikan film-film terbaik tahun 2009 menurut kami. Guess what? Mendengar saya menyebutkan judul Up in Air yang disutradarai Jason Reitman, teman-teman saya tidak ada yang sepakat. Mereka beranggapan bahwa film itu terlalu flat dan membosankan.

Anyway, despite the fact bahwa most of them hanya ‘orang awam’ dalam menilai suatu film (saya katakan awam karena justru 98% kritikus film menyanjung film ini setinggi langit), saya sendiri punya penilaian pribadi dalam melihat pesan yang terkandung dalam film ketiga putra sutradara senior Ivan Reitman ini.

Film Up in the Air berfokus pada karakter Ryan Bingham yang berprofesi sebagai ‘tukang pecat-memecat’ karyawan. Karakter pria parobaya single yang jarang settle baik dalam hal tempat tinggal maupun kisah cintanya ini, dibawakan dengan baik sekali oleh George Clooney. Karena tidak ingin terikat secara emosional dengan siapapun, baik dengan seorang wanita maupun anggota keluarganya, karakter Bingham digambarkan sangat dingin dan tidak berperasaan, meskipun sifatnya itu tersembunyi di balik penampilannya yang warm dan karismatik. Karena tidak punya emotional senses dalam hal hubungan antar manusia, pria inipun jadi sangat gampang me-release seseorang dari pekerjaannya.

Dalam salah satu scene, Ryan Bingham mengungkapkan filosofi hidup yang dianutnya. Situasi hidup yang terbaik diibaratkannya sebagai sebuah ‘backpack kosong’. Menurutnya, lebih baik travelling with an empty backpack, karena dengan bepergian kemana-mana dengan sebuah tas kosong, beban yang disandangnya dalam perjalanan menjadi ringan. Dengan backpack yang dipenuhi muatan, pergerakan kita hanya akan menjadi lambat. Sedangkan untuk survive di sepanjang perjalanan kehidupan ini, kita harus bergerak cepat untuk menyambar semua opportunity yang muncul di depan mata.

Saya pribadi mengagumi filosofi sederhananya itu. Sebagai seseorang yang masih ingin mengisi kehidupan dengan lebih banyak hal lagi. ‘The empty backpack’ adalah pilihan terbaik. Banyak hal baru yang bisa dipetik dalam perjalanan, dan jika dianggap sesuai dengan prinsip kehidupan yang kita anut, kita bisa menjadikannya suatu muatan yang mengisi ‘backpack kehidupan’. Jika pada suatu saat backpack itu telah penuh, kita bisa meng-unload semua muatan tersebut untuk memulai semua perjalanan baru.

Namun seperti situasi Ryan Bingham, selalu ada ‘muatan’ dalam ‘backpack’ itu yang pasti kita bawa kemana-mana. Keluarga adalah salah satunya. Bahkan karakter se-independen Bingham pun harus pulang dari perjalanan jauhnya demi menghadiri pernikahan adik kandungnya. Situasi menjadi lebih rumit ketika dia ‘terpaksa’ mendapatkan suatu ‘muatan’ baru, yaitu Alex, seorang gadis yang memikat hatinya (diperankan oleh Vera Farmiga).

Sebelum pembahasan menjadi semakin melebar (dan membuat saya tidak bisa berhenti mengetik, hahaha), right now I just want to say, that sometimes, to go a thousand miles, you have to leave everything behind. Meskipun suatu saat nanti ‘backpack’ kita akan penuh dengan berbagai macam muatan, namun kita harus punya saat-saat untuk membongkar muatan tersebut untuk mulai bepergian lagi demi mencapai tujuan yang optimal dalam suasana hati yang peaceful. Well, setelah durasi menempuh kurang lebih dua jam, rol film Up in the Air pun berhenti. Endingnya mengisahkan karakter Ryan Bingham yang memilih untuk tetap melanjutkan petualangannya, still with a brand new ‘empty backpack’.

VOYEURISTIC STUDY ON REAR WINDOW

'Kepo'

Pertama kali denger istilah tersebut, benak saya langsung dengan lantang menyorakkan tiga huruf : ‘W.T.F?’ Istilah macam apakah itu dan apa artinya? Ternyata kata itu sering dipergunakan dalam pergaulan zaman sekarang. Then I was like, ‘oh…okay…

Istilah ‘kepo’ tidak akan bisa ditemukan dalam kamus besar Bahasa Indonesia, namun amazingly, menjadi salah satu ciri khas masyarakat modern Indonesia. Menjamurnya program-program infotainment dan website-website gosip dalam rating yang amazingly (juga) sangat tinggi, membuktikan betapa ‘kepo’-nya masyarakat Indonesia dalam ingin mengetahui apa yang terjadi dalam kehidupan orang lain.

Tapi saya tidak ingin terburu-buru mengatakan bahwa masyarakat di negara-negara maju, yang pada umumnya seharusnya lebih civilized, sama sekali tidak punya karakter kepo. Toh, mereka juga punya ratusan acara gosip di Entertainment Channel atau apalah itu di TV Kabel. Malah, pengaruh media elektronik seperti TV dan internet, ditambah dengan semakin liarnya paparazzi mengejar buruannya yang berupa private life kaum seleb, semakin adds up the oil to the fire dalam mem-blow up budaya ini.

Mel Gibson pernah memproduseri film action kelas B bertajuk Paparazzi yang mengusung tema ini. Namun jika menyusuri lebih jauh, tema ‘mengintip privasi orang lain’ alias ‘voyeurism’ sudah diangkat jauh-jauh hari sebelumnya oleh sutradara legendaries Alfred Hitchcock dalam Rear Window.

Alkisah di film tersebut, karakter Jeffries yang diperankan James Stewart sedang mengalami cedera kaki sehingga tidak bisa berjalan. Karena hanya bisa bergerak dengan kursi roda dan tidak bisa sedikitpun meninggalkan apartemennya, satu-satunya yang menjadi hiburannya adalah sebuah alat teropong. Alat ini pun dipergunakannya untuk mengintip apartemen-apartemen lain di sebelahnya. Hingga pada suatu ketika, tanpa sengaja dia memergoki sebuah peristiwa pembunuhan.

Film klasik yang inti ceritanya disadur kembali menjadi inti cerita Disturbia yang disutradarai D.J Caruso dan dibintangi Shia LaBoeuf ini menjadi potret paling naïf kebiasaan ‘voyeurism’. Well, pada hakikatnya, rasa keingintahuan manusia memang tidak pernah bisa dipuaskan. Jika dicemplungkan dalam suatu tatanan sosial, maka rasa ingintahu itu sendiri akan menembus garis-garis privasi yang membatasi kehidupan manusia satu dan manusia lainnya.

Ah, saya pribadi sih tidak masalah jika seseorang ingin mengetahui lebih banyak tentang kehidupan pribadi saya. Asalkan ke-kepo-an seseorang hanya berbentuk pertanyaan seperti ‘lagi ngapain?’ ‘darimana?’ dan seputar itulah. Tapi kalau sudah urusan intip-mengintip seperti di Rear Window atau Disturbia, sudah bersinggungan sama urusan hukum deh!

<_mp_>


ZOMBIE'S NEW WAVE



Zombie sepertinya merupakan karakter film yang paling tidak menyenangkan untuk dilihat. Hal ini berbeda dengan para ‘saudara seangkatan’-nya sejak dulu kala, yaitu vampir dan manusia serigala (werewolf). Meskipun digambarkan sebagai sama-sama makhluk kejam yang ditakuti manusia, namun kedua makhluk tersebut selalu muncul dalam penampakan yang classy dan keren. Di zaman sekarang, kedua makhluk tersebut malah sudah menjadi ikon mainstream yang digilai khalayak luas, bahkan oleh penonton non-horor sekalipun. Werewolf mendapatkan tempat tersendiri di hati pecinta horror maupun action lewat film-film seperti An American Werewolf in London, Underworld, serta calon blockbuster tahun depan, The Wolfman. Vampir sendiri tidak perlu dipertanyakan lagi popularitasnya setelah sukses menjadi karakter perlente nan seksi lewat Dracula, serial televisi True Blood dan Vampire Academy, serta tentu saja, saga Twilight.

Alhasil, sebagai sesama karakter horror, zombie terkesan dianaktirikan. Zombie sendiri tidak lebih dari daging berjalan sisa manusia tak bernyawa yang digerakkan oleh insting pemburu. Itulah yang membuat mereka memburu manusia hidup untuk dimangsa dan dijadikan mayat hidup seperti mereka. Meskipun status mereka sama-sama sudah mati, jangan harap sebuah karakter yang telah berubah menjadi zombie akan menjadi sekeren Edward Cullen dan Count Dracula atau para geng werewolf/lycan di Underworld. Penampakan zombie malah terlihat sangat menjijikkan dengan wajah rusak dan organ tubuh yang terburai kemana-mana. Sekeren apapun seseorang ketika masih hidup, jika telah berubah menjadi zombie, pasti akan berubah menjadi jelek dan mengerikan seperti yang dialami Michelle Rodriguez di Resident Evil. Alhasil, mau dipermak seperti apapun, zombie tidak akan pernah terlihat keren.

Sekarang, demi menjaring fans lebih luas lagi, para filmmaker mulai memperkenalkan sisi nge-pop untuk karakter vampir dan werewolf. Sejauh ini, formula tersebut terbilang sukses. Hampir semua orang menggilai Robert Pattinson, Ashley Greene, Anna Paquin, sampai Dakota Fanning sebagai vampir-vampir rupawan nan seksi. Sedangkan werewolf diwakili oleh Scott Speedman, Jack Nicholson dan Benicio del Toro. Michael Sheen sendiri memperoleh kehormatan dengan berperan sebagai keduanya di Underworld dan New Moon.

Bagaimana dengan para zombie? Sampai sekarang agaknya mereka hanya selalu menjadi sasaran tembak dan ledakan senjata para tokoh utama. Nampaknya tak ada seorangpun penonton yang keberatan melihat ratusan bahkan ribuan zombie dibantai di 28 Days Later, 28 Weeks Later, Resident Evil, dan Dawn of the Dead versi Zack Snyder. Namun formula monoton seperti ini sudah digunakan dari zamannya si bapak zombie, George Romero, sampai sekarang sehingga lama-kelamaan membuat penonton bosan. Ini terbukti dari gagalnya penjualan box-office dua film teranyar Romero, Land of the Dead dan Diary of the Dead.

Alhasil para filmmaker pun memeras otak untuk menciptakan formula baru bagi film-film zombie. Angin segar pun datang dari Inggris yang memperkenalkan formula komedi zombie melalui Shaun of the Dead. Film yang meroketkan nama Simon Pegg dan Sutradara Edgar Wright ini disukai penonton karena memasukkan bumbu-bumbu komedi dalam filmnya, tanpa kehilangan unsur kejutan dan teror dalam adegan-adegan horornya.

Ide kreatif Shaun of the Dead memang sangat menarik dan kreatif. Rasanya memang lebih baik mengeksploitasi segala kelucuan yang terjadi di balik usaha para karakter dalam melarikan diri dari kejaran zombie. Rasanya lebih asyik menyaksikan para zombie dibantai dengan cara konyol yang mengundang tawa daripada berdarah-darah yang ujung-ujungnya menjadi menjijikkan. Lebih menyenangkan juga menikmati karakter utamanya dilukiskan berwajah lucu dan tak segan-segan untuk ngocol daripada menjerit-jerit ribut sepanjang film. Para filmmaker pun cepat tanggap melihat tren ini, sehingga sekarang mulai dikenal suatu genre baru sebagai variasi dari film horor, yaitu ‘Zom-Com’ atau ‘Zombie Comedy’.

Hollywood pun mulai mengeruk keuntungan dari tren yang namanya diplesetkan dari Rom-Com (Romantic Comedy) ini. Kesuksesan Zombieland adalah buktinya. Film yang disebut-sebut sebagai film terbaik Woody Harrelson ini malah sudah mulai dijadikan salah satu film cult oleh sebagian besar pecinta film. Film ini sempat bertengger di puncak box-office Amerika berkat sense of humor yang tinggi dari para penulisnya. Inggris pun tak mau kalah dengan meluncurkan Doghouse, sebuah zom-com yang menceritakan tentang sekelompok pria yang diserang para zombie wanita. Norwegia menggebrak lewat Dead Snow, yang menceritakan mayat hidup tentara Nazi. Sedangkan Australia punya The Undead. Sutradara terkenal Robert Rodriguez malah ikut-ikutan memasukkan unsur zom-com dalam Planet Terror, salah satu segmen dari Grindhouse yang dibuatnya bersama Quentin Tarantino. Di tahun 2010, akan masih banyak lagi zom-com yang akan dirilis seperti The Gatekeeper, Trasharella, The Harvard Zombie Massacre, dan tentunya, Zombieland 2.

Rasanya para pecinta horor yang maniak sekalipun tidak akan keberatan bila zombie dijadikan bahan olok-olok dan bukan jadi ikon simbol seks seperti vampir keluarga Cullen. Toh, ini merupakan sebuah angin segar dan pertanda tema horor akan semakin bervariasi. Jadi, jika merasa bosan dengan zombie serius ala franchise 28 Months Later, Resident Evil, dan film-film sampahnya Uwe Boll, silakan mencari judul-judul zom-com yang tentunya akan semakin menjamur selama beberapa tahun ke depan!

<_mp_>

MEMORABLE TAGLINES


Tulisan di bawah ini sebenarnya pernah beberapa kali saya masukkan ke blog sebelumnya, dan pada waktu itu menarik banyak perhatian dari teman-teman saya sehingga banyak yang mengirimkan feedback berupa komen-komen positif. Maka dari itu saya mau masukkan tulisan ini kembali dengan beberapa perubahan. can't wait to see the readers' reactions...

tagline adalah tulisan yang biasanya terpampang di poster sebuah film... seperti halnya produk-produk yang lain, purpose daripada tagline adalah untuk mempromosikan filmnya dengan cara membuatnya se-kreatif mungkin untuk menarik perhatian... kadang2 berhubungan,,kadang2 tidak sama sekali...kadang2 dimaksudkan untuk meng-highlight isi dari filmnya,,kadang2 cuman buat lucu2an saja... here are some of the taglines i notice worth to be remembered :

- Funny and Wacky Taglines

1. "nice planet,we'll take it." (MARS ATTACKS!)
-- simple tapi "nonjok" banget...juga sangat renyah bila kita ingat bahwa aktor-aktor terkenal yg tampil di film ini (jack nicholson, pierce brosnan) cuma buat diolok2 saja.

2. "he knows no fear, he knows no danger, he knows nothing." (JOHNNY ENGLISH)
-- jayus banget tapi cocok banget buat ngejelasin akting bloon rowan atkinson

3. "all the fun of schools, none is the education." (OLD SCHOOL)
-- great idea for a brainless wacky flick..

4. "bury the grudge, burn the village, see the saw." (SCARY MOVIE 4)
-- sudah menunjukkan film2 yg diparodiin di dalamnya

5. "the fourth and the final chapter of the trilogy". (SCARY MOVIE 4)
-- tim kreatif film ini emang konyol.. pertama,, trilogy kan jelas2 cuman ada 3,, sedangkan ini film ke-4... kedua,, siapa yg mau percaya kalo ga akan ada scary movie 5? it's a blockbuster, means a lot of money!!"

6. "he has just found the gig of his life : 5th grade." (SCHOOL OF ROCK)
-- pas banget buat premis film ini: jack black yg ngajarin anak2 SD kelas 5 nge-band...

7. "in Bruce we trust." (BRUCE ALMIGHTY)
-- just one word : hilarious!!

8. "controversy? what controversy??!!!" (FAHRENHEIT 9/11)
-- itu tagline buat versi dvd film dokumenter Michael Moore ini... cover depannya ada foto Moore berjabat tangan dengan George W. Bush... dasar Michael moore!

9. "love doesn't come cheap." (THE WEDDING DATE)
-- tagline sinetron nih??

10. "In Vietnam, the wind doesn't blow. It sucks!"
-- best tagline of the decade

- Creepy Taglines

1. "when there's no more room in hell, the dead will walk on earth." (DAWN OF THE DEAD)
-- yes,,we can see that from the movie and other zombie flicks,, thank u!

2. "think u're alone? think again!" (HOLLOW MAN) -- sounds too much GOOSEBUMPS to me.. tapi iya sih,, serem

3. "oh yes,, there will be blood!" (SAW II)
-- oh man,, whose blood this time??

4. "the wager between heaven and hell is on earth" (CONSTANTINE)
-- kok filmnya ngga seseru tagline-nya?

5. "prey.slay.display." (HOUSE OF WAX)
-- keren... kebayang betapa sadisnya sehabis membantai korban dijadiin patung lilin..paris hilton dibasmi aja!

6. "whoever wins, we lose." (ALIEN VS PREDATOR)
-- tagline buat batman vs superman apa yah

7. "the media made them superstar" (NATURAL BORN KILLERS)
-- serem juga mengingat pengaruh media terhadap masyarakat kita... dalam film ini,, pembunuh malah jadi superstar

8. "trust a few. fear the rest" (X-MEN)
-- ada yg tau kenapa x-men mesti masang tagline misterius spt ini?? aah persetan,,menurut gw keren juga

9. "in space, noone can hear you scream." (ALIEN)
-- that just explains everything

- Lesson-for-life Taglines

1. "the first casualty of war is innocence." (PLATOON)
-- hear hear Mr.Bush!

2. "today's defeat is tomorrow's victory wrapped in lesson" (KICKING AND SCREAMING)
-- klise,,tapi bagus... agak terlalu serius buat sebuah film komedi.

3. "misery loves company." (13 GHOSTS)
-- saya lebih seneng ngambil sisi religius dari kalimat ini.

4. "growing up has nothing to do with age." (ABOUT A BOY)
-- damn! now i know why i like Hugh Grant's movies

5. "if u believe in love at first sight, take a closer look." (CLOSER)
-- damn! pas banget ama isi filmnya...

6. "freedom forever!" (V FOR VENDETTA)
-- keren buanget... singkat padat jelas revolusionis...

7. "every father is a hero to his son" (ROAD TO PERDITION)
-- touching...i mean it

8. "moving at the speed of life, we are bound to collide with each other." (CRASH)
-- no comment. just perfect

9. "life is waiting" (THE TERMINAL)
-- bener banget,,jack... do you see how's the clock hand moving very slowly?

9. "murder is not always a crime" (DOUBLE JEOPARDY)
-- i need a diplomatic respond to this

10. "what doesn't kill you makes you stronger" (CURSED)
-- right,, then u have to get up and fight back...

11. "heroes don't die, they just reload" (RAMBO)
-- M2 magazine says 'no country for old hero' to explain Rambo

and finally... my favorite is :

"FEAR CAN SET YOU PRISONER... HOPE CAN SET YOU FREE"
-- THE SHAWSHANK REDEMPTION

that's all i can remember for now... if u want to add some taglines, or u have something to say,,please feel free to give your comment

<_mp_>

DREAM : AN ENVISION TOWARD REALITY?


"Dream is destiny"

Itu adalah salah satu quote favorit saya... namun jujur aja, sampai sekarang saya nggak tau apa sebenarnya maksud filosofis di balik kata-kata itu. The most simple conclusion that can be pulled out of the mind-twisting movie Waking Life, film arahan Richard Linklater dimana quote tersebut muncul, adalah salah satu tanda tanya besar, yang juga menjadi salah satu quote lain di film tersebut, "they say a dream feels real only when it lasts... could you say the same thing about life?"


Heuhh... rasanya gakkan ada habisnya kalau lagi-lagi kita hanya membahas tentang betapa 'tidak-nyata' atau 'semu'- nya hidup ini.. Fyi, my wildest imagination once told me bahwa sebenernya kehidupan sehari-hari yang saya jalani adalah sebuah mimpi panjang yang terasa nyata. Jadi, ketika sedang mandi, belajar, main bola, atau sewaktu menulis blog ini, it's just a long-lasting dream yang entah kapan akan berhenti, but someday it will come to an end ( baca :Death). A little too religious, huh?

well, i don't wanna go into a religious pep-talk like what the preachers say di salat Jumat or kuliah subuh, tapi saya cukup senang melihat banyak filmmaker ternyata mengambil isu ini sebagai tema utama karya mereka. Dimulai dari pengamatan saya di masa kecil sewaktu menonton salah satu episode Mac Gyver. Ending episode tersebut mengisahkan bahwa sebenarnya sejam penuh episode itu hanya berupa mimpi si Mac Gyver. Setelah itu ada salah satu versi (fan fiction?) Doraemon yang menceritakan bahwa keberadaan Doraemon ternyata hanya ada di dalam mimpi super-panjang si Nobita (sekaligus mimpi buruk buat seluruh anak penggemar Doraemon, hahaha...). Sampai di sini, otak saya benar-benar dicekoki oleh pertanyaan seputar 'sampai mana sih, kadar "nyata"-nya kehidupan ini?

Puncaknya, of course ada The Matrix, yang dengan bumbu-bumbu science fictionnya jelas-jelas mempertanyakan secara filosofis kehidupan nyata-tidak nyata serta segala perdebatan di dalamnya. Ada lagi Next, sesama film sci-fi yang mengisahkan bahwa setengah film ke belakang ternyata hanya ada di dalam vision-nya Nicolas Cage. Yang terakhir, tentu saja tema WAKING LIFE yang amat-sangat fenomenal. Film ini mengisahkan seorang karakter utama yang terbangun dari satu mimpi ke mimpi lainnya, tanpa pernah mengetahui bahwa seperti apa 'kenyataan' di balik mimpi-mimpinya. Sayangnya, film brilian ini jarang terdengar di telinga para pecinta film di Indonesia.

Bahan renungan utama yang dibawa dalam pembahasan Waking Life adalah,

"The worst mistake that you can make is to think you're alive when really you're asleep in life's waiting room..."

Silakan menafsirkannya dari segala sisi kehidupan. Jika sudah begitu, konsep 'kenyataan' seperti apakah yang muncul di dalam benak anda?

<_mp_>


DIRECTOR, THE REAL ARTIST


Salah satu hal yang lumayan mengganggu bagi Saya adalah ketika mendengar orang-orang membahas suatu judul film tanpa menyertakan nama sutradaranya. Padahal bagi para insan film, nama sutradara sudah wajib untuk disebutkan berbarengan dengan judul filmnya. A director, to a movie, is like an artist to his work.

Jadi, kita sebenarnya harus set our minds right, bahwa jika INDIANA JONES adalah Mona Lisa, then Steven Spelberg adalah Da Vinci. Jika ROMEO AND JULIET adalah karya Shakespeare, maka untuk versi filmnya, kreatornya adalah Baz Luhrmann, sehingga nama Luhrmann Lah yang selayaknya di-highlight, dan bukan nama Leonardo DiCaprio. Dalam hal ini, Di Caprio, seperti halnya Harrison Ford di INDIANA JONES, hanyalah salah satu elemen yang digerakkan di bawah komando para sutradara untuk menghasilkan sinergi yang lebih besar lagi yaitu film itu sendiri.


So, sebagai seorang moviegoer kelas hardcore, saya juga pasti punya Top 10 Directors of All Time. Inilah mereka :

1. Alfred Hitchcock (memorable works : PSYCHO, NORTH BY NORTHWEST)

2. Ron Howard (A BEAUTIFUL MIND, THE TRUMAN SHOW)

3. Robert Zemeckis (CAST AWAY, CONTACT)

4. Christopher Nolan (BATMAN BEGINS, THE DARK KNIGHT, MEMENTO)

5. Richard Linklater (BEFORE SUNRISE, BEFORE SUNSET)

6. Steven Spielberg (SAVING PRIVATE RYAN, SCHINDLER’S LIST)

7. Edward Zwick (LEGENDS OF THE FALL, BLOOD DIAMOND, DEFIANCE)

8. Tim Burton (ED WOOD, EDWARD SCISSORHANDS, ALICE IN WONDERLAND)

9. M. Night Shyamalan (THE SIXTH SENSE, THE VILLAGE)

10. Spike Lee (DO THE RIGHT THING, MALCOLM X)

tapi tentu saja, meskipun tidak masuk top 10 Saya, Saya tidak akan melewatkan kalau para 'artis' seperti James Cameron, Oliver Stone, Dominic Sena, Garry Marshall, sampai seniman-seniman indie seperti Kevin Smith dan Richard Kelly punya film baru. More importantly, yang mau kita nikmati adalah film sebagai hasil karyanya, kan?

<_mp_>

SETTING THE RIGHT BASIC

I wanna meet those hardcore movie-lovers that regard movies as a media that helps them to understand life as a whole. Confused? Well, sebenernya gak sesusah itu. Mari kita perhatikan beberapa permasalahan filosofis yang bisa dibahas lewat film.

1. Are we living the life we really want?

Media : THE MATRIX, TRUMAN SHOW

Pernahkah anda merasa stuck di dalam realita hidup sehari-hari, dimana anda merasa ingin lepas dari belenggu itu dan menentukan nasib anda sendiri? Well, di dalam teori filsafat, itu disebut eksistensialisme, dan para eksistensialis selalu meng-'value our freedom to live our life and livin the consequences'. Tapi, pembahasan yang lebih mudah pun sebenarnya bisa dibawa ke arah ‘are you satisfied with your real life, or you want to crossover to pursue of what-so-called your dream-life?’ Well, permasalahannya bukanlah terletak di perbedaan antara real life dan dream life, tapi apakah kita berani untuk menyeberangi perbatasan yang memisahkan keduanya. Well, for further example, check out THE MATRIX atau THE TRUMAN SHOW, dan find out mengapa karakter-karakter utamanya berani melepaskan kehidupan mereka yang notabene sudah mapan untuk mengejar idealism mereka tentang kebahagiaan yang hakiki!



2. Are you really YOU? (The questions about memories as an element for personal identity).


Media : ETERNAL SUNSHINE OF THE SPOTLESS MIND, MEMENTO, TOTAL RECALL

Memori atau ingatan adalah bagian fundamental dari hidup kita, dan esensi penentu yang membuat manusia sebagai suatu entitas yang ‘berpikir’. Jadi, singkatnya, memori adalah suatu sinergi berkesinambungan yang membentuk suatu individu itu menjadi dirinya yang sekarang. Untuk lebih jelasnya, check out Jim Carrey di ETERNAL SUNSHINE OF THE SPOTLESS MIND, Guy Pearce di MEMENTO, atau Arnold Schwarzenegger di TOTAL RECALL yang kehilangan identitas setelah kehilangan memorinya.

3. Morality makes a human.

Media : THE DARK KNIGHT, SPIDERMAN, 3:10 TO YUMA, CARLITO’S WAY, and many more

Masalah moral memang adalah hal paling klasik yang bisa dijadikan tema utama suatu film. Malah, apabila suatu film ingin dikategorikan sebagai tontonan yang safe, maka film itu harus punya sisi moral, bukan? Salah satu sarana mendidik anak untuk jadi orang yang bermoral adalah membuat mereka menonton film-film superhero seperti SPIDERMAN, sambil mengajarkan mereka bahwa ‘with great power comes a great responsibility’. For the adults who are still seeking for identity but feel too old for superhero nonsense, they can check out 3:10 TO YUMA, CARLITO’S WAY, or the latest and the darkest installment of BATMAN, THE DARK KNIGHT, sambil menanamkan pada diri mereka masing-masing, bahwa ‘it’s not who we are underneath, it’s what we do that defines us’.

4. The quality of character that matters, not the phisycal difference.

Media : REMEMBER THE TITANS, TO KILL A MOCKINGBIRD, X-MEN, CRASH

Racism is one heavy matter that the world won’t stop to fight. Beberapa film bisa membantu this kinda process of understanding, seperti REMEMBER THE TITANS. Judul-judul ekstrim seperti AMERICAN HISTORY X dan DO THE RIGHT THING juga bisa dijajal, asalkan anda tahan mental dan tidak buru-buru terprovokasi oleh ide-ide kontroversial film-film itu sebelum berhasil mencerna makna anti-rasisme yang terkandung di dalamnya. Film-film fantasi seperti X-MEN atau LORD OF THE RINGS pun bisa mengajarkan kita bahwa kualitas pribadi seseorang tidak bisa dinilai dari penampilan luarnya, namun kita harus menyelami karakter orang yang bersangkutan sebelum mengambil suatu judgement. Seperti kata karakter bijak Atticus Finch dalam TO KILL A MOCKINGBIRD, ‘you’ll never understand a man until you climb inside his skin, wear his shoes and walk around in it.’


5. Anti-war message.


Media : PLATOON, THE DEER HUNTER, THE KINGDOM, HOME OF THE BRAVE

Uniknya, salah satu cara paling efektif dalam menyampaikan pesan-pesan anti-perang adalah dengan film perang itu sendiri. PLATOON telah membuktikan lewat raihan Best Picture Oscar tahun 1986 dan tagline briliannya, bahwa ‘the first casualty of war is innocence’. Memang tidak ada orang yang suka perang, namun untuk memahami kapan kita harus berhenti berperang adalah dengan menyelami motivasi perang itu sendiri terlebih dahulu, bukan?

6. Outstanding life-struggle.

Media : ROCKY, THE SHAWSHANK REDEMPTION, ED WOOD, and many more.

Tidak ada jalan mulus dalam mencapai kesuksesan. That would be the first lesson a successful person will teach you. No further comment untuk tema film semacam ini. Semua sudah tergambar jelas di dalam quote-quote terkenal film masing-masing, yaitu,

- ‘Get busy living or get busy dying’ (THE SHAWSHANK REDEMPTION)

- ‘The world ain’t just sunshine and rainbows. It ain’t about how hard you hit, but how hard you get hit and keep moving forward’ (ROCKY BALBOA)

- ‘Visions are worth fighting for. Why spend your life making someone else’s dreams?’ (ED WOOD)

Singkatnya, I have 1001 reasons why we should NOT just watch movies as a total amusement. Movies are much more than just dull moments in front of the screen while eating popcorns. Di universitas manapun, para lecturers pasti pernah mempergunakan film untuk membantu proses understanding para siswanya. Deeper than that, movies are sources of inspiration, and solitude for some people. Seperti Saya, tentunya. :)

<_mp_>

 
Copyright 2009 MOVIE MINDSET. All rights reserved.
Free WordPress Themes Presented by EZwpthemes.
Bloggerized by Miss Dothy