RSS
Have you heard the quote, 'don't take life too seriously, noone get out of it anyway? Well, movies are, in fact, imitations of life.

WALK THE TALK LIKE LINKLATER


Jika membicarakan nama sutradara favorit saya, bukan Steven Spielberg atau Michael Bay yang akan saya tulis, melainkan seorang sutradara yang berangkat dari jalur indie, yaitu Richard Linklater.

Saya ingin membuat tulisan ini karena melihat sebuah reminder di website imdb.com beberapa hari lalu. Reminder tersebut mengingatkan sebuah tanggal bersejarah, yaitu peringatan 20 tahun film Slacker, film pertama yang melambungkan nama Linklater. Ya, tanpa terasa, sudah dua puluh tahun berlalu sejak film modal nekat tersebut rilis pertama kali tahun 1991.

Slackers

Film apa sebenarnya Slacker?

Ini adalah film unik. Ya, unik banget. Tidak ada script. Cast-nya pun tidak diberi karakter apa pun. Ini adalah film yang menampilkan sekitar belasan orang--lebih tepatnya mungkin, warga sebuah kota kecil, yang berbicara di depan kamera. Ya, hanya berbicara. Semua cast-nya bebas berbicara tentang apa pun, tentang kehidupan sehari-hari. Tentang kecelakaan yang baru saja terjadi di sudut jalan. Tentang band cadas yang akan manggung di salah satu kafe. Just like that. Tapi, itulah keunikan film ini. Indeed, biaya pembuatan film ini sangat murah. Tidak usah modal macam-macam, tinggal siapkan kamera dan beberapa orang yang bersedia untuk ambil bagian (terutama tidak grogi di depan kamera). Istilah 'walk the talk' rupanya benar-benar diterapkan oleh Linklater. Dengan konsep sederhana ini, dia bisa bebas menuangkan ekspresinya dalam frame kamera.

Kesan pertama setelah mendengar premis film ini (dan menontonnya), pasti kita akan beranggapan bahwa Slacker adalah film yang pointless. Pasti banyak yang berkomentar, bahwa film ini tidak lebih dari sebuah proyek eksperimental yang dibuat oleh seorang film-maker indie. Tidak salah juga anggapan itu. Tapi, coba lihat dampak film sederhana ini.

Walk the Talk

Beberapa tahun kemudian, konsep (sebut saja) 'walk the talk' ini, akhirnya diterapkan Linklater ke dalam film romantis Before Sunrise (1995). Sebuah pencapaian luar biasa. Film yang dibintangi oleh sobat Linklater, Ethan Hawke dan Julie Delpy ini, memaksimalkan konsep walk the talk yang pada akhirnya menjadi andalan Linklater. Film ini akhirnya menjadi buah bibir selama bertahun-tahun berkat dialog yang kuat dan chemistry kedua tokohnya yang memorable.

Pada dekade 2000-an, Linklater pada akhirnya menahbiskan diri menjadi film-maker indie yang jago membuat dialog kuat antar-karakter. Di tahun 2001, ia membuat film cult animasi Waking Life, yang masih dengan konsep sama, kaya dengan dialog-dialog random tapi bermakna. Lalu, pada akhirnya, Richard Linklater sukses masuk nominasi Academy Award (Oscar) 2004 untuk kategori Best Original Screenplay lewat Before Sunset (2004).

Kerja keras dan mimpi yang dipolesnya selama bertahun-tahun akhirnya terbayar. Jadi, mungkin kita semua harus belajar pada Richard Linklater. Don't just talk, but we have to walk the talk.

Linklater sendiri sudah membuktikannya.

<_mp_>

SARSGAARD AND SCHREIBER THE GRAY


"Black and white is how it should be, but shades of gray is all I see..." - Billy Joel.

Tentunya, banyak penonton yang merasakan bahwa karakter-karakter dalam film zaman sekarang mengalami perkembangan yang sangat pesat. Jika dulu, penonton cukup puas dengan karakter protagonis yang berusaha mengalahkan si antagonis, maka sekarang sepertinya tidak lengkap jika sebuah film tidak memiliki karakter abu-abu. Coba cek saja daftar film favorit Anda. Pasti cerita akan semakin berwarna dengan keberadaan karakter abu-abu. Karakter Severus Snape di seri Harry Potter, Boromir di trilogi Lord of the Rings, dan Nick Fury di dua film Iron Man menjelaskan semuanya, bukan?

Nah, kalau saya perhatikan, belakangan ini ada dua aktor yang sangat sering dipergunakan untuk berperan sebagai karakter abu-abu. Kebetulan, keduanya bukan aktor kelas A. Meski demikian, karakter mereka selalu karismatik dan dibawakan secara meyakinkan oleh kedua pria yang hampir sebaya ini:

1. Peter Sarsgaard
Yang paling diingat orang mungkin perannya sebagai polisi jahat di Flightplan (2005). Penonton dibuat bertanya-tanya, jahatkah orang ini sebenarnya? Apakah niatnya untuk membantu karakter Jodie Foster di situ tulus atau ada motif lain? Setelah itu, aktor kelahiran Illinois ini bermain dalam drama perang Jarhead (2005). Meski di film tersebut dia hanya sebagai pendukung Jake Gyllenhall, tapi karakternya benar-benar membangun keseluruhan konflik film dengan personality-nya yang cenderung emosional.

Sebelumnya, di film horor The Skeleton Key (2004), dia memainkan karakter penuh rahasia yang menghantui Kate Hudson. Peran yang mirip dilakoninya pula untuk Orphan (2009), sebuah thriller psikologis dimana dia berperan sebagai suami yang selalu mengkonfrontasi karakter utama Vera Farmiga, yang berperan sebagai istrinya. Terakhir, Sarsgaard menjadi agen CIA korup yang mengejar-ngejar Tom Cruise di Knight and Day (2010).

2. Liev Schreiber
Saya sudah memperhatikan aktor ini sejak bermain di trilogi Scream (1996, 1997 dan 2000) sebagai Cotton Leary, karakter yang dituduh membunuh ibu Neve Campbell padahal sebenarnya bukan pembunuh. Dari situ, Schreiber sempat menghilang sampai akhirnya muncul lagi di remake The Manchurian Candidate (2004).

Pria ini akhirnya mengukuhkan diri sebagai spesialis peran abu-abu setelah muncul sebagai Sabretooth, rival Wolverine dalam X-Men Origins: Wolverine (2009). Setelah itu dia muncul dalam Salt (2010) sebagai teman-jadi-lawan Angelina Jolie. Oh ya, jangan lupa peran memorable-nya di Defiance (2008) yang selalu menentang Daniel Craig sebelum akhirnya bahu-membahu di medan perang.

Karakter abu-abu memang membuat kita sebagai penonton memiliki sudut pandang baru terhadap perkembangan penokohan suatu karakter dalam film. Ingat, sebuah karakter abu-abu bisa berpura-pura menjadi antagonis di awal, tetapi ternyata menjadi protagonis seiring berkembangnya cerita. Begitu pula sebaiknya, di awal bisa jadi dia baik, tapi menjadi jahat di ending film.

Sarsgaard dan Schreiber telah membuktikan kelas masing-masing dengan cara membawakan karakter-karakter 'menantang' seperti itu dalam film-film mereka. Makanya, kita harus memberi apresiasi lebih terhadap kedua aktor 'abu-abu' ini.

<_mp_>

INDIE CONCEPT OF LOVE


This time I wanna talk about 'love'... yeah, baby, that kind of 'love'...

Dunia film juga tidak ada habis-habisnya mengeksploitasi cinta sebagai tema utama film-film romantis. Terkadang, cerita yang paling membuat kita mengernyitkan kening sekalipun, apabila berhasil menjual mimpi tentang kemenangan cinta, maka film itu akan disukai penonton. Take Pretty Woman, While You Were Sleeping, or (sadly, my favorite) Notting Hill, for example...

Saya ingin mengajak Anda sekalian berdiskusi atau setidaknya memusatkan perhatian kepada dua nama sutradara sekaligus scriptwriter yang saya yakini sebagai dua orang paling 'jujur' dan blak-blakan bicara cinta.

'Jujur' di sini dalam artian tidak menjual mimpi terlalu tinggi dan menggambarkan 'cinta' seperti apa adanya dalam kenyataan: memabukkan, menjeratmu pelan-pelan, tapi setelah itu meninggalkanmu dalam sebuah pilihan yang harus kau tentukan sendiri: happy ending atau gloomy ending...

1. Richard Linklater


Sutradara ini sangat dihormati di dunia indie cinema. Mungkin, karya mainstream-nya yang paling dikenal orang hanyalah School of Rock dan Bad News Bears. Namun siapa yang nggak kenal dwilogi Before Sunrise dan Before Sunset-nya yang touching abis itu.

Dalam kedua judul tersebut, Linklater menampilkan situasi se-real mungkin dalam hubungan sepasang manusia yang saling jatuh cinta. Di film pertama, karakter Jesse dan Celine yang sama-sama masih muda, idealis dan naif dalam memandang dunia, menemukan sosok idaman dalam diri masing-masing. Bertemu di sebuah kereta, menghabiskan semalam di Vienna, dan saling berjanji untuk bertemu kembali setahun kemudian di penghujung film. Semua pecinta film romantis akan jatuh cinta pada film sederhana yang kuat dalam hal dialog tersebut.


Before Sunrise dirilis pada tahun 1995. Siapa yang menyangka, Linklater membuat sambungannya 9 tahun kemudian yang bertajuk Before Sunset, dengan konsep real-life. Di film kedua ini, kedua karakter telah terjebak dalam ke-gloomy-an usia pertengahan 30 tahunan. Jesse sudah menikah dan memiliki anak, sedangkan Celine menjadi seorang wanita single yang pandangan free thinking-nya lebih cenderung ke arah apatis. Jangan salah, film ini sama sekali tidak membahas betapa dahsyatnya kerinduan mereka yang mendayu-dayu selama 9 tahun tidak saling bertemu. Justru dialog-dialog panjang yang menghiasi film ini lebih menekankan pada betapa bitter-nya kehidupan mereka masing-masing. Dan yang paling penting, apakah mereka memang segitu infatuated-nya terhadap satu sama lain, sehingga tidak menyisakan ruang lain di dalam hati mereka untuk keberadaan sebuah 'cinta' baru? Intinya, infatuation yang mereka rasakan satu sama lain tak ubahnya sebuah penderitaan berkepanjangan dong? Jika sudah begini, tidak ada salahnya mereka berpikiran, "I wish I never met you."

"Memory is a wonderful thing if you don't have to deal with the past," begitu kata Celine di pertengahan film Before Sunset. Sebuah quote yang teramat sangat 'nonjok' dari seorang scriptwriter indie bernama Richard Linklater.

to be continued...

<_mp_>

THE MIRROR


Mirror mirror on the wall, who’s the fairiest of them all?

Mirror atau cermin, selama ini dikenal sebagai alat yang merefleksikan salah satu sifat dasar manusia, yaitu narsisme. Di dalam film pun, selalu seperti itu sehingga kutipan di atas tentunya tidak asing lagi. Kutipan tersebut diambil dari cerita anak-anak klasik, Snow White, dimana si ratu jahat sebenarnya hanya mengajukan pertanyaan retoris kepada cerminnya. Maksud sebenarnya hanya ingin mendengar penekanan bahwa dirinyalah yang paling cantik, tapi si cermin malah mengatakan, ada seseorang lagi yang lebih jelita dari sang ratu, yaitu Snow White.

Di film-film modern, cermin tetap menjadi simbol penekanan karakter yang nariis, yaitu karakter yang mencintai dirinya sendiri. Selalu pasti ada adegan dimana seorang tokoh berbicara dengan diri sendiri di depan cermin. Dari perspektif orang pertama, sangat tidak mungkinlah seseorang memandangi dirinya sendiri sebagai lawan bicara. Maka di sinilah peranan cermin, yaitu untuk menyediakan penampakan langsung dari si karakter.

Toh, seperti Christina Aguilera menyanyikannya dalam lagu “Reflection”
"Who is the girl I see staring straight back at me? When will my reflection shows who I am inside?"

Nah, berikut ini dua adegan bericara dengan cermin terbaik yang pernah saya lihat:

1. Robert de Niro dalam Taxi DriverKarakter Travis Bickle yang diperankannya menodong bayangannya di cermin sambil menghardik, "you talkin' to me?"

2. Aaron Johnson dalam Kick Ass



hampir sama dengan De Niro, si superhero dadakan ini menghardik bayangannya sendiri di cermin sambil mengacungkan double stick-nya.


Namun, selain karakter-karakter yang merasa dirinya hebat, sehingga selalu ingin melihat pantulan hebat-nya di dalam cermin, ternyata ada juga adegan yang sama sekali berbeda. Karakter Edward Norton dalam the 25th Hour justru mengguakan cermin untuk memaki dirinya sendiri. Ia merasa dirinya sudah tidak berguna lagi hidup di dunia ini. Dalam monolognya, yang semakin lama semain melebar, dia mengungkapkan kebenciannya kepada semua hal yang dianggapnya membuat dunia ini menjadi ‘busuk’.



setelah memaki 'seluruh dunia', karakter Monty Brogan akhirnya memuntahkan makian pamungkas untuk dirinya sendiri, "No. No, fuck you, Montgomery Brogan. You had it all, and you threw it away, you *dumb* *fuck*!"

So, now it's up to you. When you look at the mirror, which side of yourself that you want to see?

<_mp_>


FAST AND FURIOUS: FASTER BUT LESS FURIOUS


Tulisan ini sebenarnya sudah saya buat setelah menonton Fast and Furious pada bulan April 2009 lalu. Namun baru sempat di-posting sekarang.

Vin Diesel mengulangi peran yang mengangkat namanya sebagai Dominic Toretto, si pembalap raja jalanan sekaligus perompak jalanan nomor satu. Paul Walker juga kembali sebagai polisi undercover Brian O’Conner. Agak disayangkan, sutradara spesialis pembuat non-stop action, Rob Cohen, tidak kembali untuk menangani film trademark-nya ini (mungkin) akibat kelelahan menangani The Mummy 3 : Tomb of the Dragon Emperor. Namun penggantinya, Justin Lin, nampaknya tidak mengalami kesulitan dalam mengejawantahkan naskah film ini ke layar lebar, mengingat Lin sudah dipercaya produser Neal H. Moritz dalam menangani Tokyo Drift.

Saya lagi-lagi tidak akan mengulas jalan cerita ataupun repot-repot membahas resensi film ini. Namun dengan senang hati saya ingin berbagi momen-momen paling berkesan dari sekitar 100 menit film ini berjalan. Well, I’m not much of an adrenaline lover like all the racers or race buffs are, tapi akan sangat berdosalah jika tidak mengakui bahwa saya sangat menikmati adegan-adegan balap spektakuler di installment keempat Fast and Furious ini. Yap, film ini wajib ditonton para penggemar balap dan film action berkualitas. High-speed race, car crashes, adegan tembak-tembakan dan perkelahian tangan kosong plus cewek-cewek hot, what else can u ask for?


Kemudian yang paling membuat saya kaget adalah, dari semua installment Fast and Furious, belum pernah ada satu seri pun yang menawarkan dialog bermutu dan kontemplatif. Namun di seri keempat ini, saya benar-benar dibuat terhenyak dan mendalami salah satu pembicaraan antara O Conner (Walker) dan Mia Toretto ( Jordana Brewster).

Di adegan itu, Mia melontarkan sebuah pertanyaan yang sangat ‘dalem’ kepada sang polisi spesialis undercover yang dianggapnya manipulatif dan tidak punya jatidiri tersebut, “Are you actually a cop disguised as a bad guy, or are you a bad guy disguised as a cop?” Pertanyaan itu terasa menohok dengan telak, baik bagi karakter O Conner maupun penonton. Terlebih lagi ketika O Conner hanya bisa terdiam lama sebelum menjawab, “I don’t know…”

Yap, isu mengenai personal identity yang bersinggungan dengan moralitas dalam tatanan masyarakat seperti ini nampaknya tidak pernah habis untuk dibahas. Saya akan lebih sering lagi membahas tentang ini, since there’s so much of personal identity issue being raised in movies. Kesimpulannya, saya berani berbicara bahwa Fast and Furious ternyata tidak lagi ringan dan garing ibaratnya makanan snack, yang terasa nikmat namun kosong dan tidak ada kandungan gizinya. Film keempat ini ternyata telah ditambahi oleh kandungan gizi yang meskipun tidak padat, namun memberi suplai pemikiran dan inspirasi yang cukup kepada para penonton untuk dicerna.

<_mp_>

SHOOT THE RIGHT MOMENT


Author : Haris Setiawan Tan (DAAI TV)

Belajar dari beberapa hal dari hari ke hari dalam kehidupan ini terkadang harus berbenturan segala macam didikan yang dibuat oleh para ahli teori. Dulu ketika saya belajar tentang Camera Person, banyak sekali kami diberi teori dalam mengambil gambar. Beberapa di antaranya :
1. Hindari pan right-left
2. Hindari tilt up-down
3. Cut to Cut
Tetapi justru yang terjadi dalam praktek dunia kerja di bidang entertainment adalah kebalikannya. Karena aturan-aturan tersebut saya banyak melakukan kesalahan dalam pembuatan dokumentasi video yang hasilnya tidak dapat diedit.

Jadi setelah kita terjun ke dunia kerja yang lebih baik untuk saya lakukan sebagai seorang camera person adalah melupakan segala aturan pengambilan gambar, kecuali bagi Anda yang bekerja jadi reporter. Yang terpenting adalah “Shoot The Right Moment”.

(zettia_one)

*Haris Setiawan Tan adalah teman sekelas saya di Sekolah Film STUFVI. Sekarang dia bekerja sebagai Camera Person di DAAI TV, Jakarta


LOUIS LETERRIER, THE REAL TITAN


Ketika menulis ini, film terakhir yang saya tonton adalah Clash of the Titans yang dibesut oleh sutradara Perancis Louis Leterrier. Film keluaran April 2010 yang merupakan remake film berjudul sama tahun 1981. Action bertema mitologi Yunani penuh special effect yang juga dikemas dalam format 3-D ini didukung oleh Sam Worthington dan dua aktor watak kelas wahid yaitu Liam Neeson dan Ralph Fiennes.

Okay, I'm not going to comment regarding the plot, atau mungkin ngasih review yang diukur pake skala bintang. Biarlah website-website lain yang melakukan itu. Namun lewat tulisan ini, Saya ingin menyoroti figur di belakang layar film yang memuncaki box-office Amerika tersebut.

Louis Leterrier
Sutradara Prancis ini benar-benar mencapai prestasi tertingginya dengan mengarahkan a big-budget flick. Pertama kali muncul dengan spesialisasi action Eropa dan pendekatan kelas B, Leterrier mulanya mengembangkan proyek-proyek Luc Besson seperti dua seri awal Transporter dan Danny the Dog. Namun pada tahun 2008, sebuah loncatan karir menghampirinya ketika dia dikontrak untuk menangani proyek The Incredible Hulk yang dibintangi sekaligus diproduseri Edward Norton. Film inilah yang benar-benar menggolkan namanya ke langit ketujuh dan membuatnya mulai diperhitungkan oleh para produser kelas atas.


Hollywood Wireworks
Sebagai penggemar berat film action, saya mengagumi pengaruh yang dibawa John Woo ke Hollywood, yaitu memasukkan adegan laga dengan menggunakan wireworks. Seperti yang digunakan sutradara asal Hong Kong ini di Face Off dan Hard Target, para pemerannya melakukan adegan action dengan bantuan wire, yang membuat adegan laga semakin menarik. Tali tidak kelihatan yang sering dipakai untuk menerbangkan orang di film-film mandarin kini digunakan untuk membuat para pelakon adegan laga Hollywood untuk membuat adegan berantem atau terpelanting jadi lebih dramatis.

Nah, kalau saya perhatikan, Louis Leterrier juga mengadopsi baik-baik gaya John Woo. Sejak Transporter dan Danny The Dog, adegan laga selalu dilengkapi dengan teknik wireworks. Di The Incredible Hulk, kemampuannya dalam hal ini semakin terasah. Mungkin semua orang ingat adegan paling memorable si raksasa hijau Hulk bertarung dengan musuhnya sambil melayang dalam sebuah adegan slow motion.

Di Clash of the Titans, banyak sekali adegan lompatan sambil menyerang musuh yang diperagakan aktor Sam Worthington. Dengan bantuan teknik wireworks, kemudian dipoles dengan special effect mahal, Louis Leterrier pun menghantarkan sukses luar biasa bagi film yang sebenarnya mempunyai naskah ringan bagai kerupuk ini. Siapapun, terutama fans berat film action, pasti akan menyukai attacking style yang agak mirip dengan trademark-nya Brad Pitt dalam Troy itu.

Future?
Oh, it’s obvious, isn’t it? Leterrier pasti akan kebanjiran tawaran untuk mengelola lebih banyak lagi film-film big budget. Berani taruhan, sebentar lagi produser royal sekelas Jerry Bruckheimer atau Neal H. Moritz pasti akan mengontaknya, hehehe…

<_mp_>

 
Copyright 2009 MOVIE MINDSET. All rights reserved.
Free WordPress Themes Presented by EZwpthemes.
Bloggerized by Miss Dothy